ILUSTRASI : Pajak / https://www.pajak.go.id/

Heboh ! MUI Haramkan Pajak, Ini Point-Point Yang Difatwakan

YOGYAKARTA, bungopos.com - Hasil Musyawarah Nasional (Munas) MUI ke XI yang berlangsung pada tanggal 20-23 November 2025 sukses menghebohkan meja perdebatan di Jakarta, khususnya di lingkungan Kementerian Keuangan dan Badan Anggaran DPR. Pungutan pajak itu hukumnya haram, kecuali negara berada dalam keadaan darurat.

 Menurut Prof Dr Syofiyullah Muzzammil, Guru Besar UIN Kalijaga, darurat yang dimaksud disini adalah Ketika uang zakat tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Maka dari itu, pajak diperbolehkan.

‘’Para ulama kontemporer sepakat bahwa negara modern—yang bertanggung jawab menyediakan infrastruktur masif, pendidikan gratis, layanan kesehatan, pertahanan, dan membayar utang. Kebutuhan ini tidak dapat dicukupi hanya dari zakat, karena volume Zakat (yang saat ini dikelola oleh BAZNAS/LAZ) masih jauh lebih kecil dibandingkan kebutuhan APBN,’’ tulis anggota komisi Fatwa MUI ini di https://uin-suka.ac.id/.

Lebih lanjut dikatakannya, seruan pajak "haram" itu menemukan relevansinya di tengah masyarakat. Pertama, Pelarangan PBB Berulang pada Rumah Tinggal. Apalagi jika aset tersebut merupakan kebutuhan primer (dharuriyat) tempat tinggal.

‘’PBB berulang ini dirasakan sebagai pajak ganda (double taxation). MUI menegaskan bahwa rumah yang dihuni bukanlah objek produktif yang harus dikenakan pajak secara terus-menerus,’’ sebut Prof ditulisannya.

Kedua, sebutnya, fatwa MUI membebaskan Kebutuhan Primer dari Pajak. MUI juga menegaskan bahwa sembilan bahan pokok (sembako) yang merupakan kebutuhan primer masyarakat (dharuriyat) tidak boleh dibebani PPN atau pajak berulang lainnya.

‘’Logikanya sederhana: Negara wajib menyediakan kebutuhan primer warganya tanpa hambatan fiskal. Jika kebutuhan dasar dipajaki, maka yang paling terpukul adalah masyarakat berpenghasilan rendah, menjadikannya pajak yang regresif,’’ tegasnya.

Lalu lanjutnya, yang ketiga dalam fatwa MUI yakni, Batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Setara Nishab Zakat. Untuk menegakkan prinsip keadilan, fatwa MUI menyarankan agar kemampuan finansial warga negara yang dikenakan pajak harus setara dengan nishab Zakat Mal, yaitu sekitar 85 gram emas. MUI berpendapat, batas ini dapat dijadikan patokan untuk menetapkan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

‘’Jika seseorang berpenghasilan di bawah batas tersebut, secara syariat ia tidak wajib mengeluarkan zakat, dan seharusnya tidak dipaksa membayar pajak penghasilan,’’ ucapnya. (***)

 

Editor: Arya Abisatya
Sumber: https://uin-suka.ac.id/id/show/kolom/356