DALAM berbagai komunitas Muslim di Nusantara, budaya pernikahan memiliki karakteristik yang berbeda dengan budaya pernikahan di wilayah asal tradisi Islam. Salah satu contoh yang tampak jelas adalah soal poligami. Di wilayah-wilayah yang memiliki tradisi Islam klasik, praktik poligami lebih terbuka dan diterima selama ketentuan nafkah dipenuhi dengan tepat.
Sementara itu, di banyak komunitas Muslim Nusantara, pernikahan yang ideal sering kali dipahami sebagai hubungan monogami. Poligami dipandang kurang sesuai secara sosial karena dianggap menghadirkan ketidakadilan emosional maupun beban sosial yang tidak ringan.
Dalam realitas sosial Nusantara, keterlambatan nafkah atau ketidaksiapan ekonomi suami pada awal pernikahan seringkali dinormalisasi. Banyak istri rela membantu ekonomi keluarga, bahkan sampai mengorbankan mahar untuk kebutuhan rumah tangga. Praktik semacam ini merupakan hasil konstruksi sosial yang menekankan kebersamaan dalam merintis kehidupan ekonomi sejak awal.Fondasi nilai pernikahan masyarakat Nusantara bertumpu pada prinsip kebersamaan, seperti ungkapan “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing,” atau “susah senang bersama,” yang berkelindan dengan falsafah gotong royong. Dalam konteks keuangan rumah tangga, muncul pula adagium populer, “uang suami adalah uang istri, uang istri adalah uang istri sendiri.” Adagium ini kemudian membentuk formula sosio-kultural yang menempatkan istri sebagai pengelola utama keuangan keluarga.
Istri dianggap lebih mampu mengatur kebutuhan rumah tangga dan menyimpan pendapatan suami, sementara suami dipandang sebagai penanggung jawab utama pemasukan ekonomi keluarga. Transparansi pemasukan suami kepada istri juga dipandang sebagai kesepakatan penting. Hal ini didorong oleh kekhawatiran bahwa suami dapat memakai uang untuk hal-hal yang tidak berkaitan dengan kepentingan keluarga. Akhirnya, banyak pasangan menerapkan sistem di mana gaji suami sepenuhnya dikelola oleh istri, sementara suami mendapatkan sebagian kecil saja untuk kebutuhan pribadi seperti transportasi dan uang rokok. Konfigurasi semacam ini kadang dianggap tidak sepenuhnya adil bagi suami. Beberapa suami bahkan mencari pekerjaan tambahan tanpa sepengetahuan istri untuk menambah uang jajan. Namun, efisiensi anggaran rumah tangga tetap menjadi alasan utama mengapa sistem tersebut dipertahankan. Dari perspektif fiqih atau hukum
Islam, adagium di atas tidak sepenuhnya keliru, terutama dalam poin “uang istri adalah uang istri sendiri.” Sebab jika istri bekerja atas izin suami, hasil kerjanya adalah miliknya pribadi. Hal ini sebagaimana penjelasan berikut:
ثم إنها لو عملت مع الزوج كان كسبها لها.جاء في الفتاوى البزازية: أفتى القاضي الإمام في زوجين سعيا وحصلا أموالا أنها له؛ لأنها معينة له، إلا إذا كان لها كسب على حدة فلها ذلك.
Artinya, "Jika sang istri bekerja bersama suaminya, maka hasil kerjanya adalah miliknya. Namun, jika istri memiliki pekerjaan sendiri, maka uang yang dihasilkan sepenuhnya miliknya sendiri," (Kementerian Wakaf dan Urusan Keislaman Kuwait, Mausu’atul Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, [Kuwait: Darus Salasil], vol. 7, hlm. 83. Muhammad bin Muhammad bin Syihab al-Bazzazi al-Kardari, Fatawa al-Bazzaziyah Hamisy Fatawa al-Hindiyah, [Boulaq: Mathba’ah al-Kubra al-Amiriyah, 1320 H.] vol. 5, hlm. 378.). Demikian pula dengan mahar pernikahan, yang sepenuhnya merupakan hak istri, sebagaimana firman Allah dalam QS. An-Nisa ayat 4:
وَاٰتُوا النِّسَاۤءَ صَدُقٰتِهِنَّ نِحْلَةًۗ فَاِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْۤـــًٔا مَّرِيْۤـــًٔا ٤
wa âtun-nisâ'a shaduqâtihinna niḫlah, fa in thibna lakum ‘an syai'im min-hu nafsan fa kulûhu hanî'am marî'â
Artinya, "Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (mahar) itu dengan senang hati, terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati."
Poin pertama dari adagium tersebut juga tidak salah secara fiqih: suami wajib menafkahi istrinya. Hal ini ditegaskan dalam QS. An-Nisa ayat 34:
اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْۗ
ar-rijâlu qawwâmûna ‘alan-nisâ'i bimâ fadldlalallâhu ba‘dlahum ‘alâ ba‘dliw wa bimâ anfaqû min amwâlihim,
Artinya, "Laki-laki (suami) adalah penanggung jawab atas para perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari hartanya." Namun, pemahaman bahwa “uang suami adalah uang istri” berarti seluruh pendapatan suami otomatis menjadi hak istri sebenarnya merupakan kekeliruan. Fiqih menegaskan bahwa hak istri atas harta suami terbatas pada nafkah, bukan seluruh kekayaan suami. Al-Baghawi menjelaskan:
أما النكاح-: فتجب به نفقة المرأة على الزوج، فقيرة كانت أو غنية، ولا تجب نفقة الزوج عليها؛ لأنها ممنوعة من الخروج والكسب بسببه
Artinya, “Dalam akad pernikahan, wajib bagi suami untuk menafkahi istrinya; baik istrinya miskin maupun kaya. Adapun istri tidak berkewajiban menafkahi suami, karena ia terhalang untuk keluar rumah dan bekerja sebagai konsekuensi dari adanya suami.” (At-Tadzhib fil Fiqhisy Syafi’i, [Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, 1997], jilid VI, hlm. 320.).
Dengan demikian, pemahaman masyarakat soal "uang suami adalah milik istri, sedangkan uang istri adalah milik sendiri" menjadi salah apabila diartikan sebagai hak penuh istri atas seluruh uang suami. Pada kenyataannya, banyak keluarga memahami prinsip ini, tetapi alasan utama pengelolaan penuh oleh istri lebih terkait efisiensi dan pencegahan penggunaan uang untuk hal-hal yang tidak maslahat. Dalam kerangka adab rumah tangga, Imam al-Ghazali juga menegaskan bahwa istri tidak boleh menggunakan harta suami secara berlebihan:
ومن الواجبات عليها أن لا تفرط في ماله بل تحفظه عليه قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لا يحل لها أن تطعم من بيته إلا بإذنه إلا الرطب من الطعام الذي يخاف فساده فإن أطعمت عن رضاه كان لها مثل أجره وإن أطعمت بغير إذنه كان له الأجر وعليها الوزر
Artinya:
“Termasuk kewajiban istri adalah tidak berlebihan atas harta suaminya, bahkan seharusnya dia menjaganya dengan baik. Raasulullah bersabda 'istri tidak boleh memberi makan orang lain dari harta suaminya kecuali atas seizinnya, begitu juga kecuali makanan yang berpotensi cepat basi jika tidak segera dikonsumsi. Jika istri menyedekahkan makanan suaminya atas ridhanya, maka dia mendapat pahala sama seperti suaminya. Namun, jika tapa izin suaminya, maka dia mendapat dosa, sedangkan suaminya mendapat pahala'.” (Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, [Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, 2016], jilid II, hlm. 81.).
Pandangan Imam al-Ghazali tersebut menunjukkan bahwa Islam menekankan pentingnya kejelasan otoritas dan tanggung jawab dalam pengelolaan harta keluarga. Suami memiliki hak kepemilikan atas hartanya dan istri berkewajiban menjaganya serta tidak menggunakannya tanpa izin. Prinsip ini pada dasarnya menegaskan bahwa setiap pihak memiliki batas-batas yang harus dihormati agar tidak terjadi pelampauan hak dalam rumah tangga. Dalam konteks modern, kebutuhan untuk memperjelas batas kepemilikan harta ini tidak hanya relevan dalam tataran etika rumah tangga sebagaimana dijelaskan al-Ghazali, tetapi juga perlu dituangkan secara lebih formal melalui instrumen hukum yang dapat melindungi kedua belah pihak ketika terjadi perselisihan. Misalnya di Indonesia, pasangan dapat membuat perjanjian pisah harta sebagaimana diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 29 dan Kompilasi Hukum Islam Bab VII Pasal 45–52.
Perjanjian ini penting untuk menghindari polemik kepemilikan harta, tanggung jawab utang, serta kejelasan gono-gini apabila terjadi perceraian. Pada titik ini, penting untuk dipahami bahwa adagium “uang suami milik istri” bukanlah ajaran agama, melainkan kesepakatan sosial yang berkembang di masyarakat. Ungkapan tersebut lahir dari keinginan menjaga stabilitas keuangan keluarga, terutama agar pemasukan tidak dipakai semaunya atau untuk hal-hal yang tidak bermanfaat.
Namun, ketika ungkapan tersebut diposisikan seolah-olah sebagai ketentuan syariat, maka muncullah kekeliruan yang berpotensi menimbulkan ketidakadilan. Dalam hukum Islam, hak kepemilikan tidak hilang hanya karena akad pernikahan; suami tetap memiliki hartanya, dan istri pun tetap memiliki hartanya sendiri. Yang berpindah bukan kepemilikan, tetapi kewajiban: suami wajib menafkahi, sementara istri tidak dibebani kewajiban serupa.
Di sinilah letak persoalannya, yaitu sebagian keluarga memahami adagium tadi sebagai “hak total” istri atas seluruh pendapatan suami, sampai-sampai suami merasa tidak punya ruang pribadi dalam keuangannya sendiri. Padahal, jika asas keadilan hendak dijaga, maka yang perlu dipahami adalah konsep proporsionalitas, bukan pengambilalihan hak. Suami tetap wajib menafkahi, tetapi tidak berarti seluruh hartanya menjadi milik istri. Istri tetap berhak atas pendapatannya, namun bukan berarti ia dapat menggunakan harta suami semaunya.
Prinsip timbal balik seperti inilah yang sebenarnya ditekankan oleh para ulama ketika berbicara tentang adab rumah tangga. Praktik sosial yang menempatkan istri sebagai pengelola utama keuangan sebenarnya berdampak positif dalam banyak situasi seperti pengaturan belanja menjadi lebih terarah dan potensi pemborosan dapat ditekan. Tetapi ketika praktik tersebut berubah menjadi pemaksaan atau dianggap sebagai kewajiban agama, maka batas antara nilai sosial dan aturan fiqih menjadi kabur.
Inilah mengapa penjelasan ulama seperti Imam al-Ghazali menjadi relevan. Beliau menegaskan bahwa istri wajib menjaga harta suaminya, bukan mengambil alih kepemilikannya. Suami pun tidak boleh semena-mena dengan hartanya jika hal itu mengganggu hak istri dan keluarganya. Dengan kata lain, yang dituntut agama adalah tanggung jawab, bukan dominasi.
Pada akhirnya, ungkapan “uang suami milik istri, uang istri milik sendiri” harus ditempatkan pada posisi yang proporsional. Ia dapat menjadi pepatah yang menggambarkan semangat gotong royong dan kebersamaan dalam rumah tangga, tetapi tidak boleh dipahami sebagai aturan fiqih atau ketetapan alam Islam yang mengubah hak kepemilikan seseorang.
Agama memberi batas yang jelas kira-kira seperti ini: suami wajib menafkahi, istri berhak atas hartanya, dan masing-masing memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga hak satu sama lain. Dengan demikian, adagium tersebut tidak perlu dihapus dari memori kolektif masyarakat kita, tetapi harus dipahami secara cermat agar tidak menimbulkan ketimpangan dan kesalahpahaman di dalam menjalankan bahtera rumah tangga. Wallahu a'lam. (***)