ILUSTRASI : Demontrasi

Didemo Gen Z, Presiden Madagaskar Lari ke Prancis

ANTANANARIVO, bungopos.com - Suara langkah kaki ribuan anak muda menggema di jalan-jalan ibu kota Madagaskar. Poster warna-warni bertuliskan “Nous voulons un avenir!” — Kami ingin masa depan! — melambai di antara kabut gas air mata. Mereka adalah Generasi Z, anak-anak yang lahir di era internet, kini turun ke jalan menuntut keadilan dari pemerintah yang mereka nilai gagal menjamin masa depan.

Beberapa pekan sebelumnya, unggahan di media sosial menjadi percikan awal. Video pendek berisi keluhan tentang pengangguran, korupsi, dan harga pangan yang melambung tinggi menjadi viral di TikTok dan X (Twitter). Dari percakapan daring, amarah menjelma menjadi aksi nyata di jalanan.

Madagaskar, negeri kepulauan di pesisir timur Afrika, selama bertahun-tahun bergulat dengan kemiskinan, ketimpangan sosial, dan ketidakstabilan politik. Namun bagi generasi muda yang tumbuh di era digital, kesenjangan itu kini terasa lebih menyakitkan.

Mereka melihat dunia melalui layar ponsel — di mana negara lain bisa bergerak maju, sementara mereka masih terjebak dalam krisis lama: pendidikan mahal, lapangan kerja langka, dan pejabat yang korup.

“Setiap hari kami scroll berita tentang masa depan cerah di luar sana, tapi di sini listrik sering mati dan harga beras naik dua kali lipat,” ujar seorang mahasiswa yang ikut demonstrasi, menolak disebut namanya. “Kami tidak ingin kaya, kami hanya ingin kesempatan.”

Kemarahan ini bukan sekadar tentang ekonomi. Ini tentang rasa kehilangan arah — tentang generasi yang merasa diabaikan oleh sistem.

Awalnya, aksi itu damai. Ribuan mahasiswa dan pelajar berkumpul di Lapangan Analakely, bernyanyi, berorasi, dan menuntut reformasi. Namun ketika aparat keamanan mencoba membubarkan massa, situasi berubah cepat. Batu berbalas gas air mata. Jeritan menggema di antara gedung-gedung tua peninggalan kolonial.

Dalam hitungan jam, gelombang demonstrasi menjalar ke kota-kota lain: Toamasina, Fianarantsoa, hingga Mahajanga. Pemerintah menuding “provokator asing” berada di balik kerusuhan, tapi bagi banyak warga, tudingan itu hanya alasan untuk menutupi kegagalan pemerintah menjaga kepercayaan rakyat.

Pada puncaknya, situasi menjadi tak terkendali. Gedung parlemen dibakar massa, dan beberapa pejabat kabur dari ibu kota. Militer yang awalnya dikerahkan untuk menjaga ketertiban, justru berbalik arah.

Dalam siaran yang disiarkan di televisi nasional, seorang jenderal muda muncul, menyatakan bahwa “demi keselamatan bangsa, angkatan bersenjata mengambil alih pemerintahan sementara.”

Presiden yang saat itu berada di istana dikabarkan melarikan diri ke luar negeri bersama keluarganya.

Di luar, para demonstran bersorak. Tapi di wajah sebagian mereka, tidak ada ekspresi kemenangan — hanya kelelahan dan ketidakpastian.

Kini, Madagaskar berada di persimpangan sejarah. Tidak ada yang tahu ke mana arah negara ini akan berlabuh: menuju reformasi atau kembali ke lingkaran kekuasaan militer.

Namun satu hal pasti — suara Generasi Z telah mengguncang fondasi kekuasaan lama.

“Jika kami bisa menjatuhkan pemerintah dengan suara kami, mungkin kami juga bisa membangun negeri ini dengan mimpi kami,” tulis seorang aktivis muda di platform X, disertai foto dirinya memegang bendera Madagaskar di tengah debu dan asap.

Dari jalan-jalan Antananarivo yang bergolak, generasi muda Madagaskar telah mengirim pesan ke dunia: bahwa amarah bukan sekadar pemberontakan, melainkan panggilan untuk masa depan yang lebih adil.

Dan di Pulau Merah itu, sejarah kini sedang ditulis ulang — dengan tinta keberanian anak muda.(***)

Editor: Arya Abisatya
Sumber: Twitter Narasi Newsroom