YOGYAKARTA, bungopos.com --- Ma'had Aly kini mendapat rekognisi dari negara sebagai perguruan tinggi yang fokus pada tafaqquh fiddin dan khas pesantren.
Lantas, apa beda Ma'had Aly dengan perguruan tinggi lainnya, khususnya Perguruan Tinggi Keagamaan Islam?
Direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Prof. Nur Ichwan, menekankan distingsi Ma’had Aly ada dalam konteks regulasi dan sejarah pendidikan Islam global.
“Distingsi Ma’had Aly berdasarkan regulasi dan konstruksi sejarah pendidikan Islam di dunia menunjukkan posisinya yang setara dengan universitas. Karakteristiknya jelas: untuk kaderisasi ulama, penguatan keulamaan, baik dari segi metode (manhaj) maupun pendekatan khas pesantren,” terang Prof. Ichwan di Yogyakarta, Jumat (1/8/2025).
Hal ini dia jelaskan dalam Intisyar Dusturi Pendidikan Ma’had Aly yang berlangsung dari 31 Juli hingga 2 Agustus 2025. Momen ini menjadi ajang sosialisasi Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 941 Tahun 2024 tentang Standar Mutu Pendidikan Ma’had Aly dan KMA Nomor 128 Tahun 2025 tentang Sistem Penjaminan Mutu.
Dijelaskan Prof. Ichwan, keunikan mutu Ma’had Aly tidak hanya tercermin dalam regulasi, tetapi juga dalam metodologi penulisan ilmiah ulama klasik yang diwarisi dan dilestarikan oleh pesantren. Misalnya, tahqīq, yaitu metode penyuntingan kritis terhadap manuskrip untuk mengembalikan keaslian teks. Ada juga taʿlīq, berupa catatan pinggir yang tajam dan kontekstual; syarḥ, yang menguraikan dan menjelaskan teks utama (matn) secara komprehensif. Selain itu, ada ḥāsyiyah, yaitu komentar tingkat lanjut atas penjelasan sebelumnya dalam satu tradisi keilmuan.
“Ini bukan sekadar teknik menulis, tetapi cermin dari sistem berpikir khas pesantren. Setiap metode punya tanggung jawab adab dan keilmuan. Ketika Ma’had Aly mengintegrasikan metode ini ke dalam standar mutu, itu artinya ia sedang menyusun jati dirinya secara epistemologis,” tegasnya.
Kasubdit Pendidikan Ma’had Aly sekaligus penanggung jawab forum, Mahrus, menegaskan bahwa Intisyar Dusturi bukan hanya forum sosialisasi kebijakan, melainkan proses menyusun ulang cara pandang terhadap mutu dan identitas Ma’had Aly.
“Yang kita lakukan hari ini bukan hanya menyampaikan regulasi. Kita sedang membangun kesadaran kelembagaan. Ma’had Aly punya ruh, punya khittah, dan membutuhkan cara berpikir yang khas. Ia tidak bisa disamakan begitu saja dengan pendidikan tinggi umum,” jelas Mahrus.
“Kita ingin mutu yang tidak mencabut akar. Kita ingin regulasi yang memerdekakan, bukan membebani. Maka Majelis Masyayikh dan Subdit hadir bukan sebagai regulator dari atas, tapi pelayan dari dalam,” tandasnya.
Kegiatan ini diikuti oleh unsur Majelis Masyayikh, Direktorat Pesantren, Kabid Pendidikan Pesantren Kanwil Kemenag DIY, para mudir Ma'had Aly, dan Ketua Asosiasi Ma’had Aly dari berbagai wilayah. Selama tiga hari, peserta mendalami filosofi regulasi, mengeksplorasi praktik baik tata kelola, dan merumuskan strategi implementasi berbasis konteks lokal.
Forum ditutup dengan komitmen bersama untuk menjaga khittah Ma’had Aly, memperkuat mekanisme mutu yang khas pesantren, serta membangun sistem pendidikan tinggi Islam yang tidak hanya kuat secara regulatif, tetapi juga bermakna secara ruhani dan ilmiah. (***)