Oleh : Navarin Karim
FAKTA terkini menunjukkan kecenderungan memanfaatkan preman dalam sistem Politik Indonesia, baik pada Pemilhan legislatif, Pemilihan Presiden, maupun pemilihan Kepala Daerah dimanfaatkan sebagai tim sukses, dan terakhir pemanfaatan preman dalam sistem pemerintahan yaitu sebagai “buzer”.
Menurut Inu Kencana dalam buku Sistem Poliitik Indonesia (2005 : p. 80 – 87) ada 7 kekuatan politik di Indonesia yang berpengaruh, yaitu : (1) Nahdatul Ulama, (2) Muhammadiyah, 3. Hizbut Tahir (sekarang ormas terlarang), 4, Ikhwanul Muslimin, 5. Tarbiyah Islamiyah, 6. Mahasiswa, 7. Wartawan, 8. Pengusaha. (1) Nahdatul Ulama. Dukungan Islam Konvensional Nahdatul Ulama (NU) seolah menjadi jaminan dalam memperoleh kemenangan dalam pemilihan Presiden ataupun Pemilihan Kepala Daerah. Pemilihan presiden secara tidak langsung yang digelar tahun 1999 membuktikan bahwa suara NU sangat significant dengan terpilihnya K.H. Abdurrachman Wahid (Gusdur) sebagai Presiden RI ke empat, walau tak bisa disangkal ada peran Amien Rais. Berlanjut dipilihnya K.H. Ma’ruf Amin dipilih Jokowi sebagai pasangannya tahun 2019 (2) Muhammadiyah kekuatan Islam kedua yang berpengaruh, terutama pengikutnya berasal dari Islam modern yang berdomisili di kota. (3) Hizbut Tahir adalah Islam aliran keras, sudah dianggap sebagai organisasi terlarang di Indonesia sejak 19 Juli 2017, namun masih merupakan kekuatan latent. (4) Ihwanul Muslimin, pengikutnya masih banyak dari kalangan mahasiswa pendakwah. (5) Tarbiyah Islamiyah adalah organisasi Islam pejuang pendidikan sebagai pendukung setia pemerintah yang berkuasa, demi memperoleh dana bantuan pendidikan. (6) Mahasiswa adalah kekuatan yang pernah membuat Soeharto lengser keprabon tahun 1998, namun ini masih menjadi polemik. Soeharto lengser karena intervensi Amerika melalui intimidasi Menteri Pertahanan Amerika Serikat 7. Wartawan pengaruhnya dalam membuat berita yang buruk menjadi baik atau sebaliknya. Pengaruh wartawanlah sehingga Jokowi menjadi Gubernur DKI hingga Presiden RI dua periode. 8. Pengusaha menjadi kekuatan karena amunisi keuangannya menjadi daya tarik pemilih yang sakit (sick voters).
Tidak adanya Hizbut Tahir sebagai kekuatan politik, seolah penggantinya ada Preman. Teologi kekerasan yang dikedepankan membuat lawan politik maupun voters jadi “keder”. Fenomena memanfaatkan preman, sebenarnya sudah nampak dalam pilpres dan pilkada. Jika seseorang menampilkan the real fakta negatif kandidat di dunia maya, maka akan muncul volunters yang melakukan pembelaan dengan justifikasi yang tidak masuk akal, bahkan logika yang membabi buta. Itu sudah pasti adalah preman atau buzer yang merupakan bagian dari tim sukses. Paling tidak preman intelektual.
Fenomena tersebut seolah berlanjut di pemerintahan. Kekhawatiran kita akan menjadi melembaga (internalized). Jika dulu ada slogan “jangan kalah dengan kejahatan”, akan berubah menjadi “Tidak semua preman itu jahat”. Kekuatan baru (new) ini sebenarnya membenturkan masyarakat dengan kekerasan (power).
Mereka yang tidak dibekali dengan kekuatan fisik, jelas ciut nyalinya. Efeknya adalah kontrol sosial (social control) dari mereka yang kritis dan atau rational akan semakin sepi. Ibaratnya anjing penyalak (watchdog) sudah ditakut-takuti terlebih dahulu. Lebih lanjut imbasnya kepada demokrasi semakin jauh dari ideal. Selamat datang kekuasaan baru (The new power) dalam sistem politik Indonesia. Apakah demokrasi intimidasi merupakan dinamika dalam sistem politik Indonesia ? Namun Tito Karnavian selaku Menteri Dalam Negeri (Mendagri) seolah melakukan tindakan reaktif dengan membentuk Satgas anti premanisme yang berkedok ormas. Apakah ini serius atau sekedar gimik politik.
Kita berharap tindakan reaktif tepat sasaran, preman dengan melakukan penangkapan terhadap pelaku kekerasan (begal) terutama pentolan premannya. Sementara pelaku parkir liar perlu dilakukan pembinaan atau diberdayakan secara formal, sehingga tidak menyalahi secara hukum.