Navarin Karim

Legalitas dan Legitimacy

Posted on 2025-06-26 06:31:43 dibaca 172 kali

Oleh : Navarin Karim

Ijab kabul dalam prosesi pernikahan adalah wujud dari legalilitas, sedangkan resepsi pernikahan merupakan upaya mengumumkan kepada masyarakat untuk mendapat pengakuan (legitimacy).Pernikahan antara laki-laki dan perempuan yang dipimpin oleh penghulu dalam konteks pernikahan Islam dan petugas upacara pernikahan (atau pemuka agama/sipil) dalam konteks yang lebih luas. Dalam pernikahan Islam, penghulu bertugas memimpin jalannya akad nikah dan mengesahkan pernikahan secara agama.

Sedangkan dalam konteks umum, petugas upacara pernikahan adalah orang yang memimpin pasangan melalui janji pernikahan dan mendatangani dokumen pernikahan. Sampai disini sebenarnya sudah syah mereka menjadi pasangan suami istri, namun tradisi menghendaki pengakuan (legitimacy) yaitu resepsi pernikahan. Bagi pasangan yang kaya (the have) besarnya biaya penyelenggaraan resepsi pernikahan tidak masalah, namun pasangan yang berlatar berlatar belakang ekonomi pas-pasan (subsistence economy) ini masalah besar. Kalaupun mereka bisa melaksanakan pernikahan, jelas ekonominya akan menurun drastis bahkan mengalami zero economy. Tradisi resepsi pernikahan ini bukan hanya terjadi Indonesia, tetapi di negara-negara Islam seperti Malaysia dan Arab Saudi.Sebagai pemimpin negara atau daerah juga bukan sekedar butuh pengesahan (legal) dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), lebih dari itu pengakuan masyarakat atas terpilihnya yang bersangkutan itu lebih penting. Jika yang berpartisipasi sedikit, maka akan rendah pula pengakuan.

Misal yang berpartisipasi 63 % masyarakat pemilih. Ada dua pasangan yang berkompetisi, pasangan A memperoleh suara sah 32%, pasangan B memperoleh suara 31 %. Pasangan A berhasil sebagai pemenang dan disyahkan oleh KPU, artinya pemenang hanya mendapat pengakuan masyarakat pemilih sebanyak 32 %. Inilah arti penting partisipasi pemilih.

Sarjana abal-abal, karena kemudahan sistem pendidikan yang mempraktekkan toleransi tinggi sehingga mereka sah menjadi sarjana Strata satu, dua dan tiga. Praktek pemassalan gelar kesarjanaan ini semakin menggejala di era reformasi. Mereka boleh bangga dengan gelar yang disandang, namun aspek legitimacy nanti dulu. Pertanggungjawaban terhadap masyarakat akan menuntut lebih. Apa yang sudah diperbuat. Cara berbicara, bersikap dan cara menyelesaikan masalah akan kelihatan dari gelar yang disandangnya.

Jokowi dan Gibran Raka Buming Raka belakangan ini heboh dipersoalkan eksistensinya karena legitimacy. Jokowi yang berhasil menjadi walikota solo (2005 - 2012), Gubernur Daerah Khusus Ibu kota (DKI) pada tahun 2012-2014, Presiden Republik Indonesia pada tahun 2014-2024, namun belakangan ini dihebohkan soal keaslian ijazah kesarjanaannya. Aneh memang berhasil memimpin tetapi diragukan keaslian ijazahnya. Tapi jika tidak berhasil, diragukan keaslian ijazahnya itu tidak aneh. Mungkin keraguan berawal dari cara berkomunikasi. Jika masyarakat bertanya beliau kurang dengar dan minta ulang dengan bertanya “bagaimana” atau ketika beliau membaca teks bahasa Inggris di forum intenasional, pengucapan (pronunciation) yang tidak jelas. Bahkan jadi olok-olokan dalam lagu. Hal ini menjadi kecurigaan masyarakat beliau benar-benar sarjana atau bukan. Apalagi disebut alumni Universitas Gajah Mada (UGM), dimana UGM terkenal sangat stricth soal meluluskan sarjana.Lain lagi Gibran, keanehan yang terjadi adalah koq bisa usia 36 tahun dicalonkan wapres dan menang, padahal ketentuan sebelumnya minimal usia 40 tahun. Inilah yang merendahkan legitimacy beliau, walaupun syah jadi wapres karena satu paket dengan calon Presiden.

Pamungkas persoalan legitimacy yang terjadi akhir-akhir ini pada ranah nasional adalah keraguan Menteri Kebudayaan Fadli Zon soal adanya kejadian pemerkosaan massal terhadap etnis Tionghoa pada kerusuhan Mei 1998 di Jakarta.

Hal ini seolah mencederai perasaan bangsa Indonesia khususnya korban perkosaan. Perkosaan Mei 1998 sudah dianggap luka yang tidak pernah sembuh. Tim relawan kasus Mei 1998 mencatat setidaknya ada 150 perempuan etnis Tionghoa yang mengalami perkosaan (Tirto ed, 2017). Namun, jumlahnya bisa saja lebih tinggi karrena banyak kasus yang terterverikasi. Keraguan yang diucapkan oleh Fadli Zon menimbulkan penafsiran “seolah mengaburkan sejarah”. Bisa dimaklumi karena beliau wakil ketua umum partai Gerindra dengan ketua umum Prabowo Subianto. Beliau pernah ditegur Prabowo karena sindir Jokowi di Medsos. Biasalah membuat sejarah seolah kabur, seolah menunjukkan loyalitas kepada pimpinan partainya.

Stigma negatif tersebut muncul karena beliau sekarang adalah Menteri Kebudayaan yang menggagas proyek ambisius Penulisan Ulang Sejarah Indonesia. Mudah-mudahan tetap menyajikan obyekfitas sejarah. ------------Penulis adalah purna tugas jurusan ilmu Sosial Politik Universitas Jambi dengan legalitas keahlian di bidang Sosial Politik.

Penulis: Navarin Karim
Editor: Arya Abisatya
Copyright 2023 Bungopos.com

Alamat: Graha Pena Jambi Ekspres,
Jl. Kapt. Pattimura No. 35 KM. 08
Kenali Besar, Kec. Alam Barajo, Kota Jambi

Telpon: -

E-Mail: bungoposonline@gmail.com