ILUSTRASI : Anak berjalan diwilayah bencana

Guru Besar UGM Usul Dana MBG Sebagian Dialihkan ke Daerah Bencana

YOGYAKARTA, bungopos.com - Saat ini, bertubi-tubi kabar duka silih berganti terdengar dari berbagai daerah di Indonesia. Belum selesai erupsi Semeru yang berdampak pada beberapa bagian di Jawa Timur dan Jawa Tengah, banjir besar yang melanda  Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pun menimbulkan kehilangan dan kerugian mendalam di tengah masyarakat. Berbagai sektor kehidupan lumpuh total, termasuk pula pendidikan. Menanggapi bencana tersebut, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) RI mengambil langkah tanggap darurat untuk memastikan pendidikan di daerah yang terdampak bencana tersebut tetap dapat berjalan.

Guru Besar FEB UGM sekaligus Mantan Deputi Menteri Koordinator Kesra dan PMK Periode 2010-2011, Prof. Dr.rer.soc. R. Agus Sartono, M.B.A., menjelaskan bahwa langkah dasar yang harus dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam menangani bencana seperti ini adalah dengan memberikan bantuan secepatnya, untuk meminimalisir jatuhnya korban jiwa. Penting untuk adanya tenda-tenda darurat dan dapur darurat secara masif dan juga mendesak, pun kebutuhan dasar seperti air bersih, listrik, dan makanan juga sangat penting.

“Penempatan korban di tenda-tenda pengungsi akan memudahkan pendistribusian bantuan kesehatan, pakaian dan makanan. Di tahap inilah penanganan anak-anak usia sekolah mulai dapat dilakukan. Relawan dapat memulai melakukan trauma healing kepada anak-anak guna mengatasi dampak emosional-traumatis, menghilangkan kecemasan, dan ketakutan sehingga anak-anak kembali normal,” katanya, Kamis (11/12)

Agus pun menekankan bahwa kehadiran relawan sangat dibutuhkan, terlebih jika mengingat bahwa para guru juga terdampak. Melalui kelompok-kelompok kecil di tenda pengungsian ini, anak-anak dapat diajak bernyanyi dan bermain untuk membangun rasa kebersamaan dan meredakan ketegangan. Sehingga, pada saat yang sama, pelayanan kesehatan kepada anak-anak dapat dilakukan.

Namun, Agus menekankan bahwa capaian pendidikan di lapangan tak bisa disamakan, terlebih dengan kualitas dan ketersediaan infrastruktur pendidikan masih belum merata di seluruh Indonesia. Ia berpendapat bahwa pendidikan secara daring dalam kondisi seperti ini tak memungkinkan, karena selain dari akses listrik dan komunikasi yang terputus, ketiadaan sarana dan prasarana menjadi pertimbangan. “Lebih bijaksana jika di daerah bencana tidak dipaksakan pengukuran capaian perlakuannya sama dengan daerah lain,” jelasnya.

Tantangan Dalam Memulihkan Pendidikan

Menurut Agus, tantangan terbesar dalam memulihkan pendidikan di daerah terdampak adalah waktu yang lama dalam memulihkan infrastruktur pendidikan yang memadai. Proses pembangunan ini menurut pekerjaannya akan memakan waktu minimal 6 bulan, bahkan lebih. Oleh karena itu, memastikan kemampuan anggaran daerah pun diperlukan.

“Boleh jadi Kabupaten.atau Kota dan Provinsi tidak cukup tersedia dana. Jangankan membangun akibat bencana, memperbaiki infrastruktur sekolah yang rusak berat saja banyak pemerintah daerah yang tidak mampu. Di sini sangat diperlukan afirmasi dari Pemerintah Pusat,” pesannya. (***)

Editor: Arya Abisatya
Sumber: https://ugm.ac.id/