ILUSTRASI : Relawan bencana yang lagi berjuang membantu korban banjir

Tinggalkan Shalat Fardhu karena Evakuasi Korban Bencana, Bolehkah?

JAKARTA, bungopos.com - Bencana alam yang melanda Sumut, Sumbar, dan Aceh tidak hanya menyisakan duka yang mendalam bagi para keluarga korban dan masyarakat yang terdampak, tapi juga menyisakan serpihan atau gelondongan kayu, tumpukan lumpur, sampah, dan bahkan tubuh para korban yang masih belum dievakuasi.  

Saat artikel ini ditulis, beredar video di media sosial yang menunjukkan bahwa masih banyak korban yang belum dievakuasi. Hal ini membuat sebagian masyarakat tergerak untuk berpartisipasi dalam mengevakuasi para korban bencana, membantu para relawan yang sudah ada.  

Di tengah kesibukan mengevakuasi korban bencana, simalakama pun tak bisa dihindari, di satu sisi keadaan capek, letih karena tenaga terkuras, di sisi lain ada kewajiban shalat wajib yang harus dilaksanakan oleh beberapa relawan atau masyarakat Muslim yang berpartisipasi membantu. Dalam keadaan seperti ini, sebenarnya bolehkah meninggalkan shalat fardhu dengan dalih mengevakuasi korban bencana alam?

Pada dasarnya, bagi seorang Muslim, kewajiban shalat wajib lima waktu tidak bisa gugur selama ia masih berakal, sebagaimana penjelasan Syekh Taqiuddin al-Hishni berikut:  

وَلَا يتْرك الصَّلَاة مَا دَامَ عقله ثَابتا  

 Artinya: "Selama akal masih berfungsi, shalat tidak boleh ditinggalkan." (Taqiuddin al-Hishni, Kifayatul Akhyar, [Irak: Darul Khair, 1994,] hal. 123).  

Berdasarkan prinsip dasar ini, bagi seorang Muslim yang tidak bisa shalat berdiri, bisa shalat duduk. Duduk tidak bisa, bisa shalat tidur terlentang, hingga kondisi tidak mampu bergerak pun, selama akal masih berfungsi, wajib shalat dengan melakukan gerakan shalat yang diisyaratkan di dalam hati. (Taqiuddin al-Hishni, hal. 123).

Dengan demikian, baik karena dalih sakit atau dalih seperti membantu orang lain, termasuk mengevakuasi korban bencana, shalat tidak boleh ditinggalkan.

Shalat boleh ditinggalkan, hanya jika ada uzur syar'i.   Uzur Shalat dalam Fiqih Syafi'i Dalam fiqih Syafi'i, uzur shalat, dalam arti saat meninggalkan shalat tidak berdosa dan hanya berkewajiban menggantinya (qadha’), hanya ada empat keadaan, yaitu: (1) lupa; (2) tertidur; (3) jamak; dan (4) dipaksa meninggalkannya, sebagaimana nazham berikut:  

 لَا عذر فِي تَأْخِيرهَا إِلَّا لساه # أَو نوم أَو للْجمع أَو للإكراه  

Artinya: "Dalam mengakhirkan shalat tidak bisa dikatakan uzur kecuali dalam: (1) keadaan lupa, (2) tertidur, (3) jamak (ta'khir), dan (4) dipaksa meninggalkannya.” (Imam Ibnu Ruslan, Az-Zubad fil Fiqhi as-Syafi'i, [Beirut: Darul Ma'rifah, t.t.], hal. 73).  

Selain empat kondisi ini, keadaan yang diperbolehkan meninggalkan shalat, jika berkaitan atau bertabrakan dengan kewajiban lainnya, seperti menyelamatkan seseorang yang tenggelam, menyelamatkan harta dari maling, atau men-shalati jenazah yang khawatir membusuk/rusak.  

Andaikan kita berada di kondisi seperti tersebut, maka diperbolehkan meninggalkan shalat dengan dalih sibuk dengan kewajiban lain yang oleh syariat dianggap sebagai uzur, seperti redaksi berikut:  

 وللاشتغال بإنقاذ غريق وَدفع صائل عَن نفس أَو مَال أَو بِالصَّلَاةِ على ميت خيف انفجاره كَمَا أفتى بِهِ القَاضِي صدر الدّين موهوب الْجَزرِي  

Artinya: “(termasuk uzur shalat) yaitu karena sibuk dengan menyelamatkan orang tenggelam, membela diri atau menyelamatkan harta dari pencuri (misalnya), atau karena sibuk dengan shalat jenazah yang khawatir rusak, sebagaimana fatwa al-Qadhi Shadruddin Mauhub al-Jazari.” (Syekh Syihabuddin ar-Ramli, Ghayatul Bayan, [Beirut: Darul Ma'rifah, t.t.], hal. 73).  

 Jadi, bagi para relawan atau warga yang berpartisipasi mengevakuasi korban bencana, jika keadaannya tidak bertabrakan dengan kewajiban lain yang lebih penting, seperti misal di atas, shalat tetap wajib dilaksanakan di waktu yang sudah ditetapkan, sebagaimana kita ketahui bersama.  

 Akan tetapi, jika sudah menyangkut keselamatan orang lain, misalnya ada korban masih hidup dan memakan waktu saat mengevakuasinya, maka dengan dalih mengevakuasi korban tersebut boleh tidak shalat dalam arti tidak melakukannya pada waktu yang sudah ditetapkan, tapi tetap wajib menggantinya (qada) di waktu lain.  

Demikian pula jika kita bertugas menshalati jenazah para korban, khususnya dalam kondisi darurat ketika jumlah jenazah sangat banyak dan dikhawatirkan akan rusak bila tidak segera dishalati, maka diperbolehkan meninggalkan shalat fardhu dengan alasan tersebut. Hal ini sebagaimana difatwakan oleh al-Qadhi Shadruddin Mauhub al-Jazari.  

 Solusi Pelaksanaan Shalat Solusi pelaksanaan shalat dalam kondisi seperti ini adalah dengan menundanya. Menunda shalat diperbolehkan dengan syarat ketika waktu shalat tiba berhenti sejenak untuk ber-azam, yakni berniat untuk melakukannya di tengah atau di akhir waktu, yang penting tidak sampai keluar waktu shalat. Syekh Nawawi Banten menjelaskan:  

 وبدخول الْوَقْت تجب الصَّلَاة وجوبا موسعا إِلَى أَن يبْقى من الْوَقْت مَا يَسعهَا لَكِن إِذا أَرَادَ تَأْخِير فعلهَا عَن أول الْوَقْت لزم الْعَزْم على فعلهَا فِي الْوَقْت على الْأَصَح  

Artinya: "Saat waktu masuk, shalat wajib dilaksanakan, dengan kewajiban yang masih diperpanjang sampai akhir waktu yang hanya cukup melaksanakan shalat. Akan tetapi, jika ingin mengakhirkan shalat, versi qaul ashah, wajib ber-azam saat waktu shalat masuk untuk melaksanakannya di dalam waktu shalat (yang ditetapkan syariat)." (Syekh Nawawi Banten, Nihayatuz Zain, [Beirut: Darul Fiqr, t.t.], hal. 51).  

Menunda shalat bisa menjadi solusi yang bisa dilakukan jika tidak memungkinkan shalat di awal waktu dan tidak boleh meninggalkan shalat kecuali ada uzur syar'i seperti yang telah dikemukakan.  

Selain menunda shalat, bagi relawan yang berstatus musafir, bisa menggunakan rukhshah (dispensasi), yaitu dengan jamak ta'khir, misal memulai evakuasi pada pagi hari, shalat Zuhur tidak memungkinkan, maka berniatlah jamak ta'khir, yakni menggabungkan shalat Zuhur dan Asar di waktu Asar. Solusi inilah yang dimaksud atau contoh dari penjelasan jamak termasuk uzur shalat.  

 Sementara itu, bagi para warga sekitar yang berpartisipasi mengevakuasi, bisa juga melakukan opsi menjamak ini mengikuti pendapat yang memperbolehkannya walaupun tidak berstatus musafir, seperti penjelasan berikut:

 

  ذهب جمَاعَة من الْعلمَاء إِلَى جَوَاز الْجمع فِي الْحَضَر للْحَاجة لمن لَا يَتَّخِذهُ عَادَة وَبِه قَالَ أَبُو إِسْحَاق الْمروزِي وَنَقله عَن الْقفال وَحَكَاهُ الْخطابِيّ.  

Artinya: “Beberapa ulama berpendapat bahwa diperbolehkan menjamak di rumah (tidak berstatus musafir) saat ada hajat bagi orang yang tidak menjadikannya sebuah kebiasaan. Pendapat ini dikatakan oleh Imam Abu Ishaq al-Marwazi, yang dinukil oleh Imam Qaffal, lalu dihikayatkan Imam al-Khatthabi.” (Taqiuddin al-Hishni, hal. 140).  

Walhasil, meninggalkan shalat dengan dalih mengevakuasi korban bencana tidak diperbolehkan karena bukan termasuk uzur shalat. Dalam keadaan mengevakuasi, jika memang tidak memungkinkan shalat di awal waktu, boleh menundanya atau menjamak-nya. Wallahu A'lam. (***)

Editor: Arya Abisatya
Sumber: NU Online