Kongres III KIPP di Hotel Terazz Tree, Tendean Jakarta Pusat

Pemilu Diharap Mampu Hadirkan Pemimpin Peka, KIPP Dorong Rakyat Miliki Hak Veto

JAKARTA, bungopos.com -  Wakil Menteri Sekretaris Negara RI, Juri Ardiantoro menegaskan perlunya arah baru dalam memahami dan memantau pemilu di Indonesia. Menurutnya, upaya menjawab tantangan demokrasi saat ini justru menimbulkan persoalan baru jika pemilu terus dipahami hanya sebagai prosedur politik. Menurutnya, selama ini perhatian publik dan aktivis terlalu terfokus pada aspek administratif dan prosedural. Padahal inti persoalan pemilu bukan sekadar bagaimana mekanismenya, tetapi apakah pemilu mampu menghadirkan pemimpin yang memiliki kepekaan terhadap masa depan bangsa.

“Pemilu harus menjadi trigger. Pemilu harus menjadi alat untuk memperjuangkan hal yang lebih besar, yaitu menjawab tantangan Indonesia.secara luas,” ujarnya membuka kongres KIPP di Hotel Terazz Tree, Tendean Jakarta Pusat, pada Sabtu (16/11/2025).

Ia menilai, hampir seluruh persoalan sosial, kemanusiaan, hingga pembangunan nasional pada akhirnya ditentukan oleh mereka yang terpilih melalui pemilihan umum. Karena itu, jika pemilu gagal melahirkan orang yang memiliki kepedulian terhadap masa depan Indonesia, maka pemilu tidak memberikan manfaat berarti. Juri mencontohkan, pembangunan jalan, kebijakan kesehatan, hingga penganggaran negara semuanya bergantung pada keputusan pejabat yang dipilih melalui mekanisme pemilu.

“Kalau orang yang kita pilih tidak punya sensibilitas terhadap kepentingan masa depan bangsa, untuk apa pemilu?” tegasnya.

Terkait metode pemantauan pemilu, Juri menilai penggunaan formulir check-list sudah tidak lagi relevan sebagai instrumen peningkatan kualitas demokrasi. Menurutnya, isu administrasi pemilu kini cenderung lebih baik dibanding masa lalu. Tantangan terbesar justru berada pada perkembangan teknologi informasi, termasuk penyebaran hoaks yang berpotensi memecah belah bangsa.

“Hoaks bukan hanya mengganggu jalannya pemilu, tapi juga mengancam harmoni bangsa. Ini problem baru yang lahir akibat perkembangan teknologi informasi,” ujarnya.

Dalam konteks kelembagaan, Juri menyarankan agar organisasi pemantau pemilu seperti KIPP mempertimbangkan kembali bentuk struktur organisasinya. Ia mengusulkan model semi-desentralisasi agar daerah memiliki otonomi lebih luas, sementara pusat berperan sebagai koordinator. Menurutnya, ini diperlukan agar beban kerja nasional tidak terlalu berat dan daerah bisa lebih leluasa bergerak.

“Kita bukan hanya memantau, tetapi bekerja untuk memastikan demokrasi di komunitas berjalan. Setiap tahapan harus diperkuat dengan prinsip transparansi, efisiensi, dan konsistensi nilai demokrasi,” ucapnya. 

Ketua Pelaksana Kongres Brahma Aryana mengatakan bahwa tema kegiatan ini berangkat dari evaluasi dan kajian terhadap situasi belakangan ini. Beberapa di antaranya yakni masalah pelanggaran hukum, korupsi, dan penyelenggaraan wewenang. “Itu semua merupakan hal-hal yang terjadi melalui pemilu atau merupakan hasil dari produk pemilu. Jika hasilnya jelek, sudah pasti prosedurnya bermasalah,” kata dia saat ditemui NU Online secara terpisah.

Menurut temuan KIPP, terdapat masalah teknis dan prosedural dalam penyelenggaraan Pemilu 2024 kemarin. Menjawab tantangan demokrasi konstitusional ini bukan hanya soal prosedur, tetapi juga terkait bias algoritma serta misinformasi, apalagi kondisi literasi politik saat ini masih menurun. KIPP, lanjutnya, akan meneguhkan kembali kedaulatan rakyat karena posisi kedaulatan itu hanya diberikan kesempatan pada saat pemilu.

Setelah itu, masyarakat tidak memiliki ruang untuk turut memengaruhi kebijakan, termasuk terhadap tindakan para pejabat. KIPP Dorong Rakyat Miliki Hak Veto Ia mencontohkan kondisi di Swiss, di mana masyarakat memiliki hak veto terhadap kebijakan pemerintah. Hal inilah yang ingin didorong oleh KIPP. Dengan adanya veto, posisi kedaulatan rakyat semakin meningkat.  

Rakyat tidak hanya menjadi pemberi suara, tetapi juga dapat melakukan kontrol serta peninjauan kembali terhadap kebijakan yang telah dikeluarkan pemerintah.

“Intinya, dalam acara ini kami ingin meneguhkan dan merumuskan formula untuk mengembalikan posisi atau kedaulatan rakyat yang selama ini hanya muncul pada saat pemilu,” jelasnya.

Indonesia, imbuhnya, sebagai sebuah bangsa belum memiliki kepastian hukum yang benar-benar dipegang teguh, misalnya perubahan aturan pemilu ketika proses sudah berjalan.

"Selain itu, ketika masyarakat sipil menemukan pelanggaran, sering kali pelanggaran tersebut tidak diproses. Kepastian hukum seperti inilah yang sangat tidak dirasakan oleh bangsa Indonesia," pungkasnya. (***)

Editor: Arya Abisatya
Sumber: NU Online