Ilustrasi cerai

Talak Saat Emosi, Apakah SAH ?

Posted on 2025-10-13 18:54:08 dibaca 54 kali

JAMBI, bungopos.com - Dalam menjalani pernikahan biasanya pasangan suami istri akan menghadapi dinamika kehidupan rumah tangga, mulai dari perdebatan kecil hingga pertengkaran. Ketika emosi memuncak dalam pertengkaran, seorang suami bisa saja kehilangan kendali dan mengucapkan kata-kata yang tidak diinginkan, misalnya talak. Dalam keadaan ini muncul pertanyaan, apakah suami yang menjatuhkan talak saat marah itu sah?

Dalam kajian fiqih, ungkapan talak ada yang menggunakan bahasa jelas tanpa memerlukan penafsiran (sharih), misalnya ucapan "saya talak kamu", "kamu saya ceraikan", dan sejenisnya. Ada juga talak dengan bahasa kiasan yang masih mengandung makna lain (kinayah), misalnya "kita sudahi saja", "kamu pulang saja ke orang tuamu", dan sejenisnya.

Keabsahan talak jenis kedua ini tergantung pada niat pihak suami ketika mengucapkannya. Ketika misalnya seorang suami mengucapkan “kita sudahi saja” itu niatnya untuk mengakhiri pembicaraan, maka tidak jatuh talak. Namun, jika niatnya adalah untuk mengakhiri pernikahan, maka jatuhlah talaknya.

Selanjutnya, ada perbedaan pendapat ulama terkait ucapan talak seorang suami yang sedang marah atau emosi. Sebagian ulama berpendapat bahwa talaknya orang yang sedang marah itu tetap sah dan berlaku. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Syekh Zainuddin al-Malibari, salah seorang ulama mazhab Syafi’i. Ia mengungkapkan:

واتفقوا على وقوع طلاق الغضبان وإن ادعى زوال شعوره بالغضب

Artinya: “Para ulama bersepakat bahwa talak orang yang marah itu tetap jatuh, meskipun ia mengklaim bahwa kesadarannya hilang karena marah.” (Syekh Zainuddin al-Malibari, Fathul Mu‘in [Semarang, Thoha Putra: t.t], halaman 112)

Sebagian ulama lain berpendapat bahwa talak yang dijatuhkan oleh suami yang sedang marah atau dalam keadaan emosi yang sangat tinggi dianggap tidak sah jika tingkat kemarahannya sudah mencapai puncak karena ia tidak lagi sadar dengan ucapannya sendiri. Kondisi seperti ini disejajarkan dengan keadaan orang yang kehilangan akal, seperti orang gila atau penderita epilepsi yang sedang kambuh.

وأربع لا يقع طلاقهم: الصبي، والمجنون. وفي معناه المغمى عليه، والنائم، والمكرَه

Artinya: “Empat orang yang penyataan talaknya dianggap tidak berlaku, yaitu anak kecil, orang gila - termasuk di dalamnya adalah penderita epilepsi-, orang yang sedang tidur, dan orang yang dipaksa”. (Syekh Ibnu Qasim Al-Ghazi, Fathul Qarib al-Mujib, [Semarang, Thoha Putra: t.t] halaman 48).

Untuk mengidentifikasi tingkat kesadaran seorang suami yang mengucapkan talak saat emosi, Syekh Abdurrahman al-Jaziri dalam Kitabul Fiqhi ‘alal Madzhabil Arba’ah (Beirut, Darul Kutubil Ilmiyah: 2003), juz IV, hlm 262 membaginya menjadi tiga kelompok.

Pertama, marah tingkat awal, yaitu ketika seseorang mulai marah tetapi masih dapat mengendalikan diri dan akalnya. Dalam kondisi ini, ia masih sadar dan memahami pada ucapannya sendiri. Karena orang yang marah pada tingkatan ini masih berada dalam keadaan sadar dan normal, maka talak yang diucapkannya dianggap sah dan berlaku.

Kedua, marah tingkat puncak, yaitu ketika kemarahan telah menguasai diri seseorang sampai menghilangkan akal dan kesadarannya. Dalam kondisi ini, ia tidak sadar atau tidak memahami dengan apa yang diucapkan. Karena orang yang berada dalam kondisi ini disamakan dengan orang gila yang hilang kesadarannya, maka talaknya tidak sah dan tidak berlaku.

Ketiga, marah tingkat pertengahan, yaitu ketika kemarahan seseorang sudah sangat memuncak dan keluar dari kebiasaannya namun tidak sampai menghilangkan akal dan kesadarannya. Karena orang yang berada dalam kondisi ini masih memiliki kesadaran dan tidak bisa disamakan dengan orang gila, maka talaknya tetap sah dan berlaku menurut pendapat mayoritas ulama.

Untuk menentukan apakah suami yang menjatuhkan talak itu termasuk dalam kondisi marah tingkat awal, pertengahan, atau puncak, diperlukan penilaian yang cermat dan objektif. Penilaian ini tidak hanya berdasarkan pengakuan suami, tetapi juga memerlukan instrumen lain, seperti bukti, saksi, dan pertimbangan pihak berwenang, misalnya petugas KUA atau tokoh agama setempat. Untuk itu, permasalahan ini sebaiknya dikonsultasikan dengan pihak tersebut agar mendapatkan keputusan yang sesuai dengan syariat.

Sebagai pemimpin keluarga, seorang suami hendaknya bisa bersikap lebih dewasa dan mampu mengendalikan emosinya ketika sedang terjadi perselisihan. Kematangan emosi sangat diperlukan agar tidak mudah mengucapkan kata talak, cerai, pisah, dan sejenisnya. Sikap tersebut penting dilakukan demi menjaga keutuhan rumah tangga dan menghindari penyesalan di kemudian hari. Wallahu a'lam. (**)

Penulis: Muhammad Yunus
Editor: Arya Abisatya
Sumber: www.kemenag.go.id
Copyright 2023 Bungopos.com

Alamat: Graha Pena Jambi Ekspres,
Jl. Kapt. Pattimura No. 35 KM. 08
Kenali Besar, Kec. Alam Barajo, Kota Jambi

Telpon: -

E-Mail: bungoposonline@gmail.com